Rubath Tarim terletak di jantung kota Tarim. Didirikan pada tahun 1304 H oleh para tokoh habaib dari keluarga Al-Haddad, Al-Junaid, Al-Siri. Di samping masyaikh dari keluarga Arfan. Sedangkan yang pertama kali mewakafkan sebagian besar tanahnya adalah Al-Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, saudara Al-Habib Abdullah Asy-Syathiri dan ayah Al-Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri. Rubath Tarim didirikan karena para santri yang datang dari tempat yang jauh ternyata sulit untuk mendapatkan tempat tinggal, maka para tokoh habaib saat itu sepakat untuk mendirikan Rubath Tarim sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan Islam, bahasa arab dan sebagainya, disamping sebagai tempat tinggal para santri yang datang dari tempat yang jauh. Maka datanglah para penuntut ilmu dari dalam dan luar Tarim, dari dalam dan luar Hadramaut diantaranya dari Indonesia, Malaysia, negeri-negeri Afrika, Negara-negara Teluk dan lain-lain.
Sejak didirikan pada tahun 1304 H (1886 M), Rubath Tarim dipimpin oleh Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur hingga tahun 1314 H (1896 M). Kemudiam kepemimpinan berpindah kepada Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Di tempat inilah beliau menghabiskan usianya demi menyebarkan ilmu-ilmu ke-Islaman dan melayani kaum muslimin. Sejak menjadi pengasuh Rubath Tarim beliau telah mewakafkan seluruh kehidupannya untuk berjihad, berdakwah, mengajar, dan menjelaskan berbagai persoalan agama.
Perjalanan panjang Rubath Tarim memang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Beliau dilahirkan di kota ilmu , Tarim pada bulan Ramadhan 1290 H (1873 M), beliau tumbuh dengan baik dalam lingkungan yang penuh dengan didikan agama. Di masa kanak-kanak beliau belajar Al-Qur’an kepada dua orang guru Syaikh Muhammad bin Sulaiman Bahami dan anaknya, Syaikh Abdurrahman Baharmi, kemudian beliau mengikuti pelajaran di Madrasah Al-Habib Abdullah bin Syaikh Al-Idrus pada saat itu yang mengajar di tempat tersebut adalah Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Kaff dan Al-Habib Syaikh bin Idrus Al-Idrus. Kepada merekalah beliau belajar kitab-kitab dasar dalam ilmu fiqih dan tasawwuf selain menghafal beberapa juz Al-Qur’an.
Ada beberapa faktor baik intenal maupun eksternal yang menyebabkan beliau memiliki banyak kelebihan, baik dalam ilmu maupun lainnya, sejak kecil hingga dewasanya, selain bakat dan potensinya dalam hal kecerdasan, kecenderungannya yang untuk menjadi ulama dan tokoh telah nampak sejak kanak-kanak, dukungan yang sepenuhnya dari orangtua juga menjadi faktor penting yang tak dapat diabaikan.
Ayahnya senantiasa mencukupi kebutuhannya sejak kecil hingga lanjut usia. Mengenai hal tersebut Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar mengisahkan, suatu ketika seseorang memuji beliau baik ilmunya maupun amalnya di hadapan Al-Habib Abdullah sendiri dan ayahnya Al-Habib Umar Asy-Syathiri. Maka ayahnya yang alim itu juga berkata ,”Aku mencukupi kebutuhannya. Aku hanya makan gandum yang sederhana, sedangkan ia aku beri makan gandum yang bagus,”. Al-Habib Ali Bungur dalam kitabnya mengatakan, barangkali maksud ayah Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri berbuat demikian adalah untuk meningkatkan akhlaknya atau karena ia khawatir anaknya terkena a’in (pengaruh mata, yakni yang jahat) karena di usia muda itu telah nampak kepemimpinannya dalam masalah agama, dengan mengkonsumsi makanan yang lebih baik, diharapkan daya tahannya lebih kuat.
Menziarahi Peninggalan Salaf
Sejak kecil beliau senang menziarahi peninggalan-peninggalan salaf, ayahnya pernah berkata kepada Al-Habib Ali Bungur, ”ketika kami (ia dan anaknya) mengunjungi Huraidhah,wadi ‘Amad dan Du’an untuk pertama kalinya, yang saya katakan kepada penduduknya adalah, “Tolong beri tahukan kami semua peninggalan salaf di sini. Karena, apabila kami telah pulang ke Tarim dan orang menyebut tentang suatu peninggalan yang ia (anaknya, Al-Habib Abdullah) belum kunjungi saya khawatir ia akan sangat menyesal, saya tahu ia sangat gemar pada sirah para salaf dan peninggalan mereka”.
Di waktu kecil itu pula, apabila terjadi suatu kejadian yang remeh pada diri Habib Abdullah tetapi tak di sukai ayahnya, sang ayah mengharuskannya membaca Al-Qur’an hingga khatam sebelum memulai pelajaran selanjutnya, meski pun pemikiran dan kesiapannya untuk menerima pengetahuan masih terbatas.
Setelah ilmu-ilmu dasar dikuasainya beliau benar-benar memfokuskan kegiatannya untuk mendapatkan ilmu yang lebih banyak dan lebih luas lagi. Beliau selalu mengikuti Mufti Hadramaut saat itu, Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, juga gurunya yang selalu menyebarkan dakwah Al-Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Masyhur dan para ulama Tarim lainnya. Kepada mereka beliau belajar kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, nahwu, tasawuf dan lain-lain, juga gurunya yang selalu menyebarkan dakwah Al-Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Masyhur dan para ulama Tarim lainnya. Kepada mereka beliau belajar kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, nahwu, tasawuf dan lain sebagainya.
Sebagaimana kebiasaan dan kecenderungan para ulama pada umumnya Al-Habib Abdullah Asy-Syathiri pun tak puas bila hanya belajar ke kotanya. Maka berangkatlah beliau ke Sewun, lalu tinggal di Rubath kota ini selama empat bulan. Di kota ini diantaranya beliau belajar kepada Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, penyusun kitab Mualid Simthud Durrar, selain menimba ilmu kepada sejumlah ulama Sewun lain dan orang-orang shalih, beliau juga mengambil ilmu dari Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas dan Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi.
Dengan perjalanannya ke Haramain tahun 1310 H (1892 M) jumlah gurunya semakin bertambah banyak. Setelah menunaikan haji dan menziarahi datuknya Rasulullah SAW , beliau sangat bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Kesungguhannya sulit di cari bandingannya. Dalam sehari semalam beliau ber-talaqqi (belajar secara langsung dan pribadi dengan menghadap guru) dalam tiga belas pelajaran. Setiap sebelum menghadap masing-masing gurunya, beliau muthala’ah (kaji) dulu setiap pelajaran itu sendiri.
Guru-gurunya yang sangat berpengaruh di Makkah di antaranya Al-Habib Husein bin Muhammad Al-Habsyi, Syaikh Muhammad bin Said Babsheil, Syaikh Umar bin Abu bakar Bajunaid dan Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha, pengarang kitab I’anah ath-Thalibin yang merupakan syarah kitab Fath Al-Mu’in. Tetapi yang menjadi Syaikh fath (guru pembuka)-nya adalah Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur, gurunya ketika di Tarim. Tak terhitung lagi banyaknya kitab yang beliau pelajari pada gurunya ini dalam ilmu fiqih dan yang lainnya.
Selama tiga tahun beberapa bulan beliau berada di Makkah. Pada tahun 1314 H (1896 M) beliau kembali ke negerinya, Tarim dengan membawa bekal ilmu dan tersinari cahaya Tanah Suci, kemudian beliaupun mengajar di Rubath Tarim sampai wafatnya Al-habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur tahun 1320 H (1902 M).
Setelah Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur wafat beliau menjadi pengajar pengajian umum setelah wafatnya Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Masyhur pada 21 Rabiuts Tsani 1274 H (1932 M). Di Rubath Tarim beliau benar-benar memainkan perannya sebagai pengajar, pembimbing, dan penasehat terbaik dan itu berlangsung semenjak ayahnya masih hidup hingga sesudah ayahnya wafat pada bulan Dzulqa’idah tahun 1350 H (1932 M). Selama kurang lebih 50 tahun pengabdiannya murid-muridnya tak terhitung lagi banyaknya, baik dari Hadramaut maupun dari luar, peran dan jasanya tak terbatas di lingkungan Rubath Tarim saja, melainkan juga meluas keseluruh Tarim, bahkan ke kota-kota dan wilayah-wilayah lain di Hadramaut. Beliau menjadi marji’ (rujukan) dalam berbagai persoalan, tidak terhitung lagi ishlah yang dilakukannya kepada pihak-pihak yang bertentangan.
Seiring dengan kekokohannya yang semakin diakui beliau diserahi amanah untuk menangani pengawasan Rubath, pengurusan masalah santri dan pengarahan halaqah. Di tengah kesibukannya itu beliau menyempatkan diri memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Setiap malam Jum’at antara Magrib dan Isya beliau berdakwah kepada mereka di masjid jami’ Tarim. Itu berlangsung sejak tahun 1341 H setelah wafatnya sang guru Al-Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur. Di masa Al-Habib Alwi masih hidup pun beliau sering menggantikannya apabila gurunya sedang tidak berada di tempat atau mempunyai halangan.
Hubungan beliau dengan gurunya ini sangat erat banyak kisah menarik di antara mereka, antara lain ketika sang guru hendak menghembuskan nafas terakhir, sebagaimana yang di kisahkan dalam lawami’ An-Nur, halaman 18 : Sebagaimana diketahui para wali Allah ketika menjelang wafat biasanya menyerahkan urusan atau tugas yang diembannya kepada seseorang yang memenuhi syarat. Terkadang anaknya sendiri yang menerima kepercayaan itu mungkin pula muridnya bahkan terkadang gurunya yang masih hidup yang menerimanya.
Pada sore hari menjelang malam wafatnya Al-Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, beliau sedang memberikan pelajaran sebagaimana biasanya di Rubath , ketika salah seorang murid membaca beliau terlihat mengantuk, maka murid yang membaca itu sebentar-bentar berhenti membaca, tetapi beliau malah membentaknya agar ia meneruskan membacanya
Karena murid itu berkali-kali diam maka beliaupun menyuruh murid yang lain untuk membaca. Hanya sebentar beliau mengantuk tiba-tiba beliau mengangkat kepalanya dan berteriak dengan keras, ”Semoga Allah merahmati Al-Habib Alwi Al-Masyhur.”. Kalimat demikian mengisyaratkan bahwa Al-Habib Alwi akan atau telah wafat. Kemudian beliau meminta murid-murid untuk tidak membicarakan atau memberitahukan kepada orang lain sampai berita itu diumumkan sebagaimana kebiasaan di sana .
Kemudian beliau keluar ruangan seraya menyuruh murid-muridnya melanjutkan pelajarannya. Beliau menuju rumah Al-Habib Alwi Al-Masyhur, pada saat itu habib dalam keadaan menjelang wafat, didampingi putranya, Habib Abu bakar. Setiap kali sadar dari pingsannya, ia bertanya, ”Apakah Abdullah Asy-Syathiri telah datang ? Apakah ia sudah sampai ?” kalimat itu yang terus diulanginya.
Maka berkatalah putranya, ”Apakah ayah ingin kami mengirim orang untuk menjemputnya?”
Al-Habib Alwi menjawab, ’Tidak.”
Pada saat yang dinantikan itu tiba-tiba Al-Habib Abdullah datang, maka Al-Habib Alwi pun bergembira dan berseri-seri wajahnya. Hubungan bathin segera tersambung diantara mereka. Mereka berpelukan, berjabat tangan dan seolah ada sesuatu yang dititipkan kepada Al-Habib Abdullah Asy-Syathiri. Kemudian ruh Al-Habib Alwi pun kembali kepada Tuhan-Nya. Tampaknya sebelum itu hanya menunggu kehadiran pemilik amanah yang akan ia serahi kepercayaan itu. Itulah salah satu kisahnya dangan gurunya itu.
Ungkapan Duka para Penyair
Al-Habub Abdullah terus menyuarakan dakwahnya dan mengajar dengan istiqomah hingga Allah memanggilnya pada malam sabtu tanggal 29 jumadil Ula tahun 1361 H (13 juni 1942). Jasadnya dikebumikan dipemakaman zanbal, Tarim. Tak terhitung banyaknya tokoh yang menghadiri pemakamannya, berbagai ratsa’ (ungkapan duka) dibuat para penyair atas wafatnya sang habib. Semuanya termuat dalam salah satu kitab manaqibnya, Nafh ath-Thib al-‘Athiri min Manaqib al-Imam al-Habib Abdullah asy-Syathiri, yang disusun dan dihimpun oleh muridnya, Al-‘Alim Al-‘Allamah Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, ayahanda Al-Habib Umar bin Hafidz.
Sepeninggal Al-Habib Abdullah Asy-Syathiri Rubath Tarim diasuh oleh putra-putranya, pertama-tama yang menggantikannya adalah putranya yang bernama Al-Habib Muhammad Al-Mahdi Al-Kabir yang mampu mengemban tugas itu dengan sangat baik. Ia menjadi pengasuh sekaligus menjadi guru besar di ma’ad ini, setelah itu adiknya Al-Habib Abu bakar bin Abdullah asy-Syathiri, yang sebelumnya selalu membantu kakaknya mengajar.
Kemudian kepemimpinan Rubath Tarim berada di tangan Al-Habib Hasan Asy-Syathiri dan kini yang memimpin putra Al-Habib Abdullah yang lainnya, yaitu Al-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri yang sekarang menjadi salah seorang tokoh terkemuka di Tarim, Al-Habib Abdullah patut tersenyum bahagia karena para penerusnya terus bermunculan dari masa ke masa baik dari kalangan keluarga maupun yang lainnya.
Sumber : majalah Al-Kisah No.09/tahun VI/21 April-4 mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar